ULIL ALBAB

"Dakwah akan terus berjalan dengan ada maupun adanya kita,bila tidak bersama kita dakwah akan bersama yang lain, jika engkau tidak bersama dakwah engkau bersama siapa?"

Sabtu, 28 November 2009

Sekularisme


      TERMINOLOGI sekularisme diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan ilmaniyyah, dan tersebar luas di Mesir dan Afrika Utara. Terminologi sekularisme berasal dari bahasa Inggris: secularism yang berarti bersifat keduniaan (worldly), non-agama (irreligious), non-spiritual (un-spiritual; earthly; mundane), dari kata dasar, dunia (world), di luar agama (non-religion), non-spiritual (mundane). Lawan katanya adalah: suci (holy), yaitu bersifat keagamaan (religious), wakil dari langit (vicegerent of God), di luar alam dan hukum-hukumnya (unearthly, transcendental). Jadi sekularisme menempatkan hal-hal ilmiah, tata aturan dan masalah-masalah sosial pada posisi agama. Pengertian demikian dari terminologi ini tumbuh di masyarakat Eropa yang mempunyai kecenderungan arah pada keduniaan dan aliran realisme dalam mengatur urusan dunia bukan dengan syari'ah Allah yang datang dari luar alam ini. Mengatur urusan hidup di dunia ini dengan aturan yang bersifat keduniaan (al-'alamiyyah atau 'ilmaniyyah). Sekularisme sebagai pandangan manusia dalam mengatur dunia, sebagai aliran dalam referensi keduniaan untuk menangani urusan-urusan manusia, tidak mungkin dapat dipahami tanpa menelusuri perjalanan sejarah peradaban Eropa pada perkembangannya dalam kerangka peradaban Barat Kristen dengan akar-akar Helenisme Yunani di bidang filsafat, tradisi Romawi dalam bidang hukum, serta tradisi Kristen yang masuk ke dalamnya. Agama Kristen sejak awal perkembangannya selama berabad-abad di tengah masyarakat Eropa sebagai agama bukan negara atau politik, dan sebagai satu ajaran cinta kasih yang tidak memberi manusia acuan hukum dan sistem pemerintahan. Sementara misi gerejanya khususnya di kerajaan langit tidak mempunyai urusan dengan kekuasaan di bumi dan tata aturan masyarakat manusia dalam masalah politik, ekonomi, sosial dan tidak pula dengan ilmu-ilmunya. Selama rentang waktu berabad-abad ini hubungan yang berjalan antara gereja dan negara mengacu pada Teori Dua Pedang (Theory of the Two Swords) yaitu pedang rohani temporal (zamani) atau kekuasaan sipil milik negara. Akan tetapi ketika gereja keluar dari batas-batas misi rohani dan kerajaan langit lalu merebut kekuasaan temporal maka urusan duniapun diintervensi oleh kekuatan agama. Kemudian, sebagai akibatnya, masyarakat Eropa mengalami stagnasi dan kemunduran serta masa-masa kegelapan, dan yang berkembang kemudian pada masa itu adalah Teori Satu Pedang (Theory of One Sword), yaitu kekuasaan yang digabungkan antara otoritas agama dan kekuasaan sipil, baik berada di tangan tokoh-tokoh gereja maupun di tangan para raja atau kaisar: Atas nama agama mereka menduduki tahta kerajaan dan gereja memberkati. Sistem ini dikenal dalam sejarah Eropa dengan terminologi Hak Ketuhanan bagi Raja-Raja (Divine Right of The Kings). Dalam menghadapi sistem ini dan kenyataan keterbelakangan peradaban yang dakibatkan oleh kondisi suram serta kesewenang-wenangan atas nama agama, muncullah pemerintahan sekular yang diletuskan oleh Renaissance Eropa yang secara terbuka menentang kekuasaan dan dominasi agama serta membangun kecenderungan sekularisme baru di atas tradisi Eropa modern yang kemudian menggeser agama dan ketuhanan untuk diganti dengan otoritas akal dan empirisme.
        Paham sekularisme yang begitu garang melanda Eropa telah mengembalikan peran gereja ke batas-batas wilayahnya yang semula: Penyelamatan rohani dan kerajaan langit serta mengangkat moto: “Render unto the Caesar what the Caesar’s and to the God what the God’s." (Serahkan apa yang menjadi hak Kaisar kepada Kaisar dan apa yang menjadi hak Tuhan kepada Tuhan), di samping menempatkan akal dan empirisme terpisah dari agama dan ketuhanan. Sebab hanya akal dan realitas empirik yang dijadikan pedoman dalam urusan peradaban manusia, yaitu membuat tirai antara langit dan bumi, dengan bertolak dari satu filosofi bahwa alam ini berdiri sendiri yang diatur oleh hukum sebab dan musabab tanpa menghajatkan adanya aturan Tuhan (Divine laws) yang turun dari balik alam indrawi ini. Jadi sekularisme dapat dipahami menjadikan acuan dalam mengurus planet ini pada manusia sendiri dan dari dalam planet ini tanpa campur tangan dari aturan samawi (Divine Iaws) atau wahyu yang datang dari luar planet ini. Sekularisme Eropa pernah mengenal adanya aliran yang mempercayai Tuhan dan para filosufnya mampu mengkombinasikan antara kepercayaan pada Tuhan Pencipta alam dan sekularisme yang memandang bahwa alam ini berdiri sendiri yang mana urusan kehidupan manusia dipandang ada pada otoritas manusia yang bebas dari aturan syari'ah Tuhan. Sintesa ini mengacu pada konsep Aristoteles tentang wilayah perbuatan Ilahi. Tuhan, menurut pandangan Aristoteles, Maha Esa, Terpisah dari alam, tetapi Dia adalah Penciptanya. Dia telah menitipkan pada alam dan dunia ini hukum sebab musabab yang mengatur dengan sendirinya dan untuk dirinya bukan karena adanya sesuatu dari luar yang menimbulkan gerak padanya. Perhatian Tuhan itu bergantung pada diri-Nya dan tidak memiliki campur tangan dalam peristiwa parsial di dunia dan alam semesta.3) Filosuf-filosuf Barat yang membuat sintesa ini di antaranya Hobbes (1588-1679), Locke (1633-1716), Leibniz (1647-1716), Rousseau (1712-1778), Lessing (1729-1817).
       Alam dipandang berdiri sendiri dan diatur oleh hukum sebab musabab (causal law) yang dititipkan oleh Tuhan padanya. Hukum alam inilah sumber objek pengetahuan yang benar, yang dapat dijelaskan dengan argumen dan reasoning yang dilakukan oleh manusia melalui akal dan pengamatan empirik tanpa campur tangan dari langit. Demikian landasan sekularisme membangun "keduniaannya" pada konsep Aristoteles bagi wilayah perbuatan dzat Ilahiah, Dia hanya sebagai Pencipta, lalu setelah selesai menciptakan, perhatian-Nya tertuju hanya pada dzat diri-Nya tanpa mengurusi atau mencampuri urusan makhluk-makhluk-Nya, tidak berbeda dengan pembuat jam yang memberikan sarana dan alat-alat yang menimbulkan gerakan, tanpa harus berada dan mengurusi bagaimana jam itu berjalan setelah pembuatannya. Trend sekularisme lebih mudah memantapkan posisinya karena terbantu oleh watak agama Kristen yang mempunyai konsep tentang hubungan antara agama dan negara: "Berikan apa yang menjadi milik Kaisar kepada Kaiser." Sementara peran agama tidak lebih dari sekedar penyelamat rohani dan kerajaan langit tanpa memberi satu aturan syari'at tentang masyarakat dan negara, yaitu masalah yang menjadikan "penjara" agama dalam gereja dan dalam hati sanubari individu satu "pemberontakan perbaikan agama". Disamping itu faktor pendukung lain bagi tumbuh kembangnya sekularisme adalah bahwa tradisi Romawi di bidang filsafat hukum dan perundang-undangan telah menjadikan asas "manfaat" tidak dikaitkan dengan agama dan moralitasnya serta aturan-aturan transendentalnya, melainkan asas manfaat itulah yang menjadi ukuran. Oleh sebab itu, jalan menuju ke undang-undang hukum sekular terbuka luas. Demikian sekularisme tumbuh dalam lingkungan era pencerahan Barat yang ditandai dengan pemisahan antara "langit" dari "bumi" serta pembebasan masyarakat manusia dari ikatan-ikatan dan batasan-batasan syari'at Tuhan, kemudian yang dijadikan rujukan untuk mengurus dunia ini hanyalah manusia sebagai penguasa atas lingkungan dan planetnya sendiri. Maka manusia lalu hanya tunduk pada akalnya dalam ideologi Renaissance yang mendirikan epistemologi yang memisahkan antara dua era ruh manusia: era keselamatan Tuhan (God's salvation) bagi Thomas Acquini dan era ensiklopedi para filosuf pencerahan (Renaissanse). Maka harapan pada kerajaan langit bergeser untuk diganti dengan era rasionalisme; sistem karunia Ilahiyah menghilang di hadapan sistem alam; dan otoritas Tuhan tunduk pada otoritas kesadaran manusia yang disebut dengan terminologi kebebasan. 4) -Muhammad Imarah-

Hai Nil, Mengalirlah!

dakwatuna.com - Mesir jatuh ke dalam pelukan Islam. Amru bin ‘Ash r.a. ditetapkan Khalifah Umar bin Khaththab sebagai Gubernur di sana. Suatu hari di hari pertama di bulan dalam sistem penanggalan masyarakat setempat, orang-orang datang menemui Amru bin ‘Ash.

Juru bicara mereka berkata, “Wahai Amirul mukminin, Sungai Nil di tempat kami punya kebiasaan tidak mau mengalirkan air kecuali permintaannya dipenuhi.”

“Apa permintaannya?” tanya Amru bin ‘Ash.

“Kalau sudah tanggal 11 bulan ini, kami biasa mencari seorang anak gadis. Setelah kami menjadikan kedua orang tuanya senang dan ridha, maka kami menyuruh gadis itu berdandan dan berhias seelok mungkin. Lalu kami melemparnya ke Sungai Nil sebagai tumbal,” papar mereka.

Amru bin ‘Ash memotong, “perbuatan itu dilarang oleh Islam dan Islam melenyapkan ajaran buruk sebelumnya.”

Karena tidak ada solusi, para penduduk Mesir yang menetap di sekitar Sungai Nil memutuskan untuk menetap sementara seperti biasa. Bila air Sungai Nil tidak mengalir, mereka berencana pindah ke wilayah lain.

Melihat keadaan itu, Amru bin ‘Ash berkirim surat kepada Khalifah Umar bin Khaththab di Madinah. Amru melaporkan peristiwa yang dihadapinya dan meminta nasihat kepada Umar apa yang mesti ia lakukan.

Umar membalas surat Amru. Dalam suratnya Umar menulis, “Tindakanmu benar. Islam memang menghapus kebiasaan buruk sebelumnya. Aku telah mengirim kertas khusus untuk engkau lempar ke Sungai Nil.”

Surat Umar sampai ke tangan Amru. Amru membaca isi surat khusus yang ditulis Umar untuk Sungai Nil. “Dari hamba Allah, Umar Amirul Mukminin untuk Nil penduduk Mesir. Amma ba’du. Jika engkau mengalir karena kemauanmu, janganlah engkau mengalir. Tetapi bila engkau mengalir karena diperintah oleh Allah, maka aku meminta kepada Allah Yang Mahaesa lagi Maha Perkasa agar menjadikanmu mengalir.”

Kertas itu dilempar Amru bin ‘Ash ke Sungai Nil sehari sebelum hari raya Nasrani. Saat itu penduduk Mesir tengah bersiap-siap pindah ke negeri lain karena Sungai Nil yang menjadi sumber penghidupan mereka berhenti mengalirkan air.

Setelah surat Umar dilempar, keesokan harinya, di pagi hari di hari raya Nasrani, air Sungai Nil telah mengalir dengan ketinggian 7 meter lebih hanya dalam waktu semalam. Sejak itu adat buruk masyarakat Mesir melempar tumbal seorang gadis hidup-hidup ke tengah Sungai Nil berhenti.

Peristiwa ini tercatat dalam Tafsir Ibnu Katsir (3/480), Tafsir Al-Qurthubi (13/70-71), Tafsir Fakhrur Razi (21/74-75), Tarikh Al-Khulafa karya Asy-Syuyuti, Thabaqat Asy-Syafi’iyah Al-Kubra karya As-Subkiy, dan kitab-kitab masyhur lainnya.