ULIL ALBAB

"Dakwah akan terus berjalan dengan ada maupun adanya kita,bila tidak bersama kita dakwah akan bersama yang lain, jika engkau tidak bersama dakwah engkau bersama siapa?"

Jumat, 26 Februari 2010

Materialisme

MATRIALISME yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan al-maddiyyah adalah satu trend pemikiran dan filsafat yang berkembang sebagai satu aliran dalam perkembangan filsafat Barat, sejak adanya warisan tradisi Yunani hingga kebangkitannya di era modern.

Kata materialisme berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata dasar matter (dalam bahasa Arab: Maddah, atau benda, dalam bahasa Indonesia) dipadang oleh kaum matenalis di kalangan para pemikir dan filosuf, sebagai satu istilah filsafat yang berarti: kenyataan obyektif yang ada secara terpisah dari kesadaran dan terefleksi di dalamnya. Mereka menggambarkan bahwa materi (matter) mempunyai ukuran dan berat, yang memakan tempat, yang membentuk asal segala sesuatu dan unsur-unsumya. Mereka menggambarkan kesadaran manusia sebagai refleksi materi ini, yaitu unsur dasar pertama dalam wujud dan pengaruh. Sedangkan mental atau kesadaran bersifat sekunder dibanding dengan unsur dasar pertama ini. Oleh sebab itu, paham materialisme senantiasa mengantar penganutnya pada ateisme dan mengingkari adanya Tuhan Sang pencipta alam materi ini. Menurut mereka materi adalah sumber kesadaran dan pikiran bagi manusia yang menurut ungkapan ensiklopedi filsafat yang disusun oleh sejumlah ilmuwan pilihan dari Uni Sovyet tentang materialisme yang mengantar kepada ateisme, adalah bahwa materialisme filosofis meyakini bahwa materi bersifat primer sedangkan akal atau kesadaran bersifat sekunder dan termasuk dalam hal ini bahwa alam ini bersifat abadi, tidak diciptakan oleh Tuhan, bahwa alam ini tidak dibatasi oleh waktu dan ruang. Karena paham materialisme berpegang pada keyakinan bahwa kesadaran dan akal adalah produk materi, maka akal dipandang sebagai refleksi dari alam eksternal.

Jika paham matenalisme sebagai trend filsafat yang mencapai puncak perkembangannya dan juga keekstrimannya dalam filsafat Marxisme yang dirumuskan pada abad 19 oleh Karl Marx (1818-1883) dan Frederik Angels (1820-1895), sebenarnya telah tumbuh dan berkembang dalam pemikiran filsafat Yunani jauh sebelum kelahiran Isa al-Masih: ada dalam filsafat Thales (624-547 SM), Anaximenos (588-525 SM), dan Heraclitus (544-483 SM). Bagi para filosuf ini materi berdiri dengan sendirinya tanpa diciptakan oleh penciptanya.  Orientasi materialistik juga ditemukan pada para filosuf Barat selain penganut paham masxisme baik sebelum maupun setelah masa perkembangan Marxisme, sebagai contoh: Hacksly Thomas. H (1825-1895) dan pembahasannya tentang hubungan kesadaran dan pikiran dengn materi dan tubuh mengemukakan: "Tampaknya bahwa kesadaran berkaitan dengan organ-organ tubuh sebagai akibat sekunder dari kinerja tubuh, tidak lebih dari itu. Ia tidak memiliki daya apapun untuk mengatur kinerja tubuh seperti halnya dengan bunyi mesin yang menyertai gerak kereta api tanpa memberi pengaruh pada alat-alatnya." Ia juga mengatakan: "Pikiran yang diungkapkan dengan ucapan kata dan pikiran-pikiran Anda pada hal-hal yang bekaitan dengannya tidak lain adalah satu ungkapan tentang perubahan parsial." Dengan sendirinya para penganut paham ini yang mengingkari adanya Pencipta materi karena adanya keyakinan tentang kepertamaan materi serta dampaknya pada kesadaran dan pikiran sebagai refleksi dari alarn eksternal, mengingkari: kebangkitan manusia setelah mati, hari perhitungan amal (hisab), balasan atas perbuatan manusia selama hidup di dunia (jaza’) bahkan mengingkari alam gaib secara keseluruhan.

Pemikiran Islam telah menawarkan perubahan dalam rentang sejarahnya, kepada sikap pemikiran Barat dalam masalah ini. Tradisi Islam tidak mengenal paham materialisme dan filosuf-filosuf materialis, bahkan Bahasa Arab tidak mengenal makna filosofis untuk istilah materi (maddah) dan tidak juga mengenal materialisme dalam tradisi klasik dan abad pertengahan. Istilah ini dengan pengertian ini baru dikenal dalam kamus-kamus yang rnencatat peradaban Islam pada era modern ini sebagai akibat dari pengaruh filsafat Barat yang datang bersamaan dengan kontak kaum Muslimin dengan Barat pada masa penjajahan. Kata maddah (materi) dalam Istilah Bahasa Arab adalah tambahan yang bersambung dan segala sesuatu yang menjadi bantuan untuk yang lainnya. Sedangkan para-penganut paham filsafat yang mengingkari sang Pencipta dan tidak meyakini selain realitas yang bersifat indrawi sebagai jalur pengetahuan, diistilahkan dengan addahriyyin, yaitu mereka yang menggunakan jalan memperoleh pengetahuan hanya dengan fenomena lahiriah kehidupan dunia, atau aspek materiilnya saja, dan mereka mengembalikan segala pengaruh kepada dahr yang artinya masa:
"Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa (dahr) dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja." (al-Jaatsiyah: 24)

Islam bersikap menolak dan menentang terhadap kelompok dahriyyin ini mulai dari pemeluk agama-agama Timur seperti Sumnisisme di India yang meyakini bahwa hanya indra yang manjadi satu-satunya jalan memperoleh pengetahuan, dan perkembangan selanjutnya berakhir pada paham naturalisme yang meyakini adanya kontradiksi antara proses sebab akibat pada segala sesuatu dan adanya sebab pertama (First cause) yang menciptakan segala sesuatu ini termasuk sebab musababnya. Al-Jahizh (780-869) telah banyak menerangkan pembahasan tentang tidak adanya kontradiksi antara tauhid dan alam, begitu pula Ibnu Sina (980-1037) telah memadukan antara sebab akibat materi pada benda ciptaan karya llahi. Ia mengakui tentang adanya materi tetapi menafikan materi memiliki sifat menciptakan dan mengadakan, dengan mengatakan: "Materi meskipun menjadi penyebab bagi benda, ia bukan suatu sebab yang memberi wujud." Medan aplikasi. paham materialisme Barat modern telah meluas mencalcup ilmu jiwa, dengan mengembalikan kondisi perasaan pada fenomena fisiologis; ilmu akhlak, dengan mengajak manusia untuk membatasi upaya pada kesejahteraan materiil saja; ilmu sejarah, dengan merujuk fenomena historis dan sosial pada realitas ekonomi sebagai asasnya, sebagaimana yang terdapat dalam paham materialisme historis, disamping paham materialisme dialektik yang memberi interpretasi wujud sebagai satu proses perkembangan yang terus menerus bagi materi baik dalam kuantitas maupun kualitas. Akan tetapi paham materialisme ini dalam pemikiran dan ilmu pengetahuan Barat, mengalami set back sejak dasawarsa duapuluhan abad ini dan tepatnya setelah datang masa kejayaan teori relativisme Einstein (1879-1955). - 

Minggu, 07 Februari 2010

AL IKHA' (PERSAUDARAAN)

        Di antara nilai-nilai sosial kemanusiaan yang ditekankan oleh Islam adalah persaudaraan (ukhuwah). Bahwa hendaknya manusia hidup di masyarakat itu saling mencintai dan saling menolong dan diikat oleh perasaan layaknya anak-anak dalam satu keluarga. Mereka saling mencintai, saling memperkuat, sehingga benar-benar terasa bahwa kekuatan saudara adalah kekuatannya, dan kelemahan saudaranya adalah kelemahannya. Dan bahwa sesungguhnya ia akan merasa kecil (tidak berarti) jika sendirian dan dia akan banyak (bernilai) manakala bersama saudara-saudaranya.Karena urgennya permasalahan ini dalam pembinaan masyarakat Islam maka kami akan menjelaskan hal tersebut secara rinci. Seperti kitab, "Al Islam Wal Audha' Al Iqtishadiyah" "Al Islam Wal Manahijil Isytirakiyah," dan "Al Islam Al Muftara 'alaihi," semua karya Syaikh Muhammad Al Ghazali dan lain-lain. Al Qur'an telah menjadikan bahwa hidup bersaudara itu suatu kenikmatan yang terbesar.
Allah SWT berfirman:
"Dan ingatlah akan kenikmatan Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara." (Al-Imran: 103)

Al Qur'an juga menjadikan persaudaraan dalam bermasyarakat di antara orang-orang mukmin sebagai konsekuensi keimanan yang tidak dapat terpisah satu sama lain di antara keduanya. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara..." (Al Hujurat: 10)

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:
.".. Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para
mukmin, dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman).
Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya
kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah
mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Al Anfal: 62-63)
Rasulullah SAW bersabda:
"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, ia tidak menganiayanya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh)..., janganlah saling menghasud, janganlah saling bermusuhan, dan janganlah saling
bertengkar ..., dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara." Telah kami jelaskan sebelumnya tentang sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari haditsnya Zaid bin Arqam, bahwa Rasulullah SAW berdoa pada setiap selesai shalat sebagai berikut:
"Ya Allah ya Tuhan kami, dan Tuhan segala sesuatu serta pemiliknya, saya bersaksi bahwa Engkaulah Allah yang Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Ya Allah ya Tuhan kami dan tuhan segala sesuatu serta pemiliknya,
sesungguhnya aku bersaksi bahwa sesunggahnya Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu. Ya Allah ya Tuhan kami, tuhan segala sesuatu dan pemiliknya, sesungguhnya kami bersaksi bahwa sesungguhnya seluruh hamba (Mu) adalah bersaudara."
Dalam doa tersebut, pengakuan prinsip ukhuwwah (bersaudara) diletakkan setelah bersyahadah kepada Allah dengan mengesakan Dia dan bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah sebagai hamba dan rasul-Nya. Dalam ungkapan "Seluruh hamba (Mu) adalah saudara" ada dua makna yang keduanya sama-sama benar, yaitu: 
  Pertama, Sesungguhnya para hamba yang dimaksud di sini adalah seluruh manusia, mereka adalah bersaudara antara yang satu dengan lainnya, dengan alasan bahwa mereka semua putera Adam dan hamba Allah. Ini adalah Ukkuwwah Insaniyah 'Ammah (persaudaraan antar manusia secara umum). Allah SWT telah menyiasati sejumlah Rasul dalam Al Qur'an bahwa mereka itu adalahbersaudara bagi kaumnya, meskipun mereka kufur terhadap risalahnya. Karena adanya sisi persamaan dengan mereka di dalam jenis dan asal mula, sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan Kami telah mengutus kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud." (Al-A'raf: 65)

"Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shalih." (Al A'raf: 73)

"Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu'aib." (Al A'raf: 85)
    Kedua, Bahwa sesungguhnya yang dimaksud hamba di sini adalah khusus kaum Muslimin, karena kesamaan mereka dalam satu millah (agama). Mereka bersatu dalam satu aqidah yaitu mentauhidkan Allah, dan kiblat yang satu yaitu Ka'bah di Baitul Haram. Mereka mereka diikat oleh kitab yang satu yaitu Al Qur'an dan Rasul yang satu yaitu Muhammad SAW serta oleh satu Manhaj yaitu Syari'at Islam. Inilah yang disebut Ukhuwwah Diniyah (Islamiyah) yang khusus yang tidak bertentangan dengan yang pertama. Karena tidak saling menafikan antara yang khusus dan yang umum. Hanya saja ukhuwwah diniyah ini memiliki hak-hak yang lebih banyak, sesuai dengan ikatan aqidah dan syari'ah serta pemikiran dan tingkah laku.

Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)