ULIL ALBAB

"Dakwah akan terus berjalan dengan ada maupun adanya kita,bila tidak bersama kita dakwah akan bersama yang lain, jika engkau tidak bersama dakwah engkau bersama siapa?"

Jumat, 11 Juni 2010

ZIONISME: SEBUAH NASIONALISME SEKULER YANG MENGKHIANATI YUDAISME

Zionisme dibawa ke dalam agenda dunia di akhir-akhir abad ke sembilan belas oleh Theodor Herzl (1860-1904), seorang wartawan Yahudi asal Austria. Baik Herzl maupun rekan-rekannya adalah orang-orang yang memiliki keyakinan agama yang sangat lemah, jika tidak ada sama sekali. Mereka melihat "Keyahudian" sebagai sebuah nama ras, bukan sebuah masyarakat beriman. Mereka mengusulkan agar orang-orang Yahudi menjadi sebuah ras terpisah dari bangsa Eropa, yang mustahil bagi mereka untuk hidup bersama, dan bahwa penting artinya bagi mereka untuk membangun tanah air mereka sendiri. Mereka tidak mengandalkan pemikiran keagamaan ketika memutuskan tanah air manakah itu seharusnya. Theodor Herzl, sang pendiri Zionisme, suatu kali memikirkan Uganda, dan ini lalu dikenal sebagai "Uganda Plan." Sang Zionis kemudian memutuskan Palestina. Alasannya adalah Palestina dianggap sebagai "tanah air bersejarah bagi orang-orang Yahudi", dibandingkan segala kepentingan keagamaan apa pun yang dimilikinya untuk mereka.
Sang Zionis melakukan upaya-upaya besar untuk mengajak orang-orang Yahudi lainnya menerima gagasan yang tak sesuai agama ini. Organisasi Zionis Dunia yang baru melakukan upaya propaganda besar di hampir semua negara yang berpenduduk Yahudi, dan mulai berpendapat bahwa Yahudi tidak dapat hidup dengan damai dengan bangsa-bangsa lainnya dan bahwa mereka adalah "ras" yang terpisah. Oleh karena itu, mereka harus bergerak dan menduduki Palestina. Sebagian besar orang Yahudi mengabaikan himbauan ini.
Menurut negarawan Israel Amnon Rubinstein: "Zionisme (dulu) adalah sebuah pengkhianatan atas tanah air mereka (Yahudi) dan sinagog para Rabbi".15 Oleh karena itu banyak orang-orang Yahudi yang mengkritik ideologi Zionisme. Rabbi Hirsch, salah satu pemimpin keagamaan terkemuka saat itu berkata, "Zionisme ingin menamai orang-orang Yahudi sebagai sebuah lembaga nasional…. yang merupakan sebuah penyimpangan."16
Pemikir Islam Prancis yang terkenal Roger Garaudy melukiskan hal ini dalam sebuah pembahasan:
Musuh terburuk keyakinan Yahudi yang jauh ke depan adalah logika para nasionalis, rasis, dan kolonialis dari Zionisme kebangsaan, yang dilahirkan dari nasionalisme, rasisme, dan kolonialisme abad ke-19 di Eropa. Logika ini, yang menginspirasi semua penjajahan Barat dan semua perang antara satu nasionalisme dengan nasionalisme lainnya, adalah sebuah logika yang membunuh diri sendiri. Tidak ada masa depan atau keamanan bagi Israel dan tidak ada keamanan di Timur Tengah kecuali jika Israel meninggalkan paham Zionismenya dan kembali ke agama Ibrahim, yang adalah warisan bersama, bersifat keagamaan, dan persaudaraan dari tiga agama wahyu: Yudaisme, Nasrani, dan Islam.17
Dengan cara ini, Zionisme memasuki politik dunia sebagai sebuah ideologi rasis yang menganut paham bahwa Yahudi seharusnya tidak hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain. Pertama-tama, ini adalah gagasan yang keliru yang menciptakan masalah parah bagi dan tekanan atas orang-orang Yahudi yang hidup dalam belenggu ini. Kemudian, bagi orang-orang Islam di Timur Tengah, paham ini membawa kebijakan Israel tentang pendudukan dan perebutan wilayah bersama-sama dengan kemiskinan, teror, pertumpahan darah, dan kematian.
Pendeknya, Zionisme sebenarnya adalah sebuah bentuk nasionalisme sekuler yang berasal dari filsafat sekuler, bukan dari agama. Akan tetapi, seperti dalam bentuk nasionalisme lainnya, Zionisme juga berusaha menggunakan agama untuk tujuannya sendiri.
Kesalahan Penafsiran Taurat oleh Para Zionis
Taurat adalah sebuah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Musa. Allah berkata dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)…" (Al-Qur'an, 5:44). Al-Qur'an juga berkata bahwa Taurat kemudian akan dikotori oleh perkataan manusia di dalamnya. Inilah kenapa apa yang kita miliki saat ini adalah "Taurat yang menyimpang."
Akan tetapi, sebuah penelitian lebih dekat mengungkap adanya kebanyakan kebenaran agama yang terkandung dalam Kitab yang pernah diwahyukan ini, seperti keimanan kepada Allah, penghambaan diri kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, takut kepada Allah, cinta kepada Allah, keadilan, kasih sayang, cinta kasih, melawan kekejaman dan ketidakadilan, yang semuanya ditemukan di seluruh Taurat dan kitab lainnya dari Perjanjian Lama.
Terlepas dari ini, perang yang terjadi dalam sejarah dan pembunuhan yang terjadi karenanya juga disebutkan di dalam Taurat. Jika manusia ingin menemukan sebuah dasar, meskipun dengan memutarbalikkan kenyataan, untuk kekejaman, pembantaian, dan pembunuhan, mereka bisa menjadikan bab-bab dalam Taurat tersebut sebagai acuan. Zionisme memilih cara mutlak yang mengesahkan terorismenya, yang sebenarnya adalah sebuah terorisme fasis. Dan, ini sangat berhasil. Misalnya, Zionisme menggunakan bab-bab (dari Taurat) yang terkait dengan perang dan pembantaian untuk mengesahkan pembantaian orang-orang Palestina yang tak berdosa. Padahal, ini adalah sebuah penafsiran menyimpang yang disengaja. Zionisme menggunakan agama untuk mengesahkan fasismenya dan ideologi rasisnya.
Para Zionis juga mendasarkan pernyataan mereka pada penafsiran mereka tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan "orang pilihan" yang pernah dikaruniakan Allah kepada orang Yahudi suatu kali. Beberapa ayat Al-Qur'an berhubungan dengan persoalan ini:
Hai Bani Israil, ingatlah akan ni'mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat45. (Qur'an, 2:47)
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani Israil Al Kitab (Taurat), kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka rezki-rezki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masanya). (Qur'an, 45:16)
Al-Qur'an menerangkan bagaimana pada suatu kali Allah memberkati orang-orang Yahudi, dan bagaimana pada kali lainnya Dia menjadikan mereka berkuasa atas bangsa-bangsa lain. Namun ayat-ayat ini tidaklah menyiratkan "orang pilihan" seperti apa yang dipahami orang-orang Yahudi radikal. Ayat-ayat tersebut menunjukkan kenyataan bahwa banyak nabi-nabi yang datang dari keturunan ini, dan bahwa orang-orang Yahudi memerintah di daerah yang luas pada saat itu. Ayat-ayat tersebut menerangkan bahwa dengan berkat kedudukan kekuasaan mereka, mereka "lebih diutamakan di atas semua manusia lain." Ketika mereka menolak Isa, ciri ini pun berakhir.
Al-Qur'an menyatakan bahwa orang yang terpilih tersebut adalah para nabi dan orang-orang beriman yang Allah tunjuki kepada kebenaran. Ayat-ayat ini menyebutkan bahwa para nabi itu telah dipilih, ditunjuki jalan yang benar, dan diberkati. Berikut ini adalah beberapa ayat yang terkait dengan persoalan ini:
Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya90 di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. (Qur'an, 2: 130)
Dan Kami lebihkan (pula) derajat sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus. Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kitab, hikmat dan kenabian Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya. (Qur'an, 6:87-89)
Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi ni'mat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (Qur'an, 19:58)
Namun orang-orang Yahudi radikal, yang mempercayai keterangan menyimpang, melihat "orang yang terpilih" sebagai ciri kebangsaan sehingga mereka menganggap setiap orang Yahudi terlahir unggul dan bahwa Bani Israil selamanya dianggap unggul dari semua manusia lainnya.
Penyimpangan kedua yang terbesar dari sudut pandang ini menampilkan anggapan keunggulan ini sebagai "suatu perintah untuk melakukan kekejaman atas bangsa lain." Untuk tujuan ini, para Zionis membenarkan perilaku mereka melalui kebencian-kebencian turun-temurun yang bisa ditemukan dalam beberapa hal pada Yudaisme Talmud. Menurut pandangan ini, hal yang lumrah bagi orang-orang Yahudi untuk menipu orang-orang non-Yahudi, untuk merampas hak milik dan bangunan mereka, dan, ketika diperlukan bahkan membunuh mereka, termasuk wanita dan anak-anak.18 Kenyataan menunjukkan, semua ini adalah kejahatan yang melecehkan agama sejati, karena Allah memerintahkan kita untuk melestarikan keadilan, kejujuran, dan hak orang-orang tertindas, dan hidup dalam kedamaian dan cinta.
Lebih jauh lagi, pernyataan anti-non-Yahudi ini bertentangan dengan Taurat itu sendiri, seperti ayat-ayat yang mengutuk penindasan dan kekejaman. Akan tetapi, ideologi rasis Zionisme mengabaikan ayat-ayat seperti itu untuk menciptakan sistem kepercayaan berdasarkan amarah dan kebencian. Tanpa mempedulikan pengaruh ideologi Zionis, beberapa orang Yahudi yang benar-benar percaya pada Allah akan mengetahui bahwa agama mereka mengajarkan mereka untuk tunduk pada ayat-ayat lainnya ini yang memuji perdamaian, cinta, kasih, dan perilaku etis, seperti:
Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan; janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran. Janganlah engkau pergi kian ke mari menyebarkan fitnah di antara orang-orang sebangsamu; janganlah engkau mengancam hidup sesamamu manusia; Akulah Tuhan. Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegur orang sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia. (Perjanjian Lama, Imamat, 19:15-17)
Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?'' (Perjanjian Lama, Mikha, 6:8)
Jangan membunuh. Jangan berzinah. Jangan mencuri. Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu. Jangan mengingini rumah sesamamu … (Perjanjian Lama, Keluaran, 20:13-17)
Menurut Al-Qur'an pun, perang hanyalah khusus sebagai sarana mempertahankan diri. Bahkan jika perang akan diumumkan dalam suatu masyarakat, kehidupan orang-orang tak berdosa dan aturan hukum harus dilindungi. Suatu perintah untuk membunuh wanita, anak-anak, dan orang-orang tua tidak dapat disampaikan oleh agama manapun, kecuali hanya oleh tipu-daya yang berkedok agama. Dalam Al-Qur'an, Allah tidak hanya mengutuk jenis kebencian seperti ini namun juga menyatakan bahwa semua manusia sama dalam pandangan-Nya dan bahwa kelebihan seseorang itu tidaklah didasarkan pada ras, keturunan, atau segala kelebihan keduniaan lainnya, melainkan pada ketakwaan - cinta bagi dan kedekatan kepada Allah.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Qur'an, 49:13)
Terlepas dari kedok agamanya yang palsu, alasan sesungguhnya dari ketidakmanusiawian dan kekejaman Zionisme adalah hubungannya dengan mentalitas penjajahan Eropa di abad kesembilan belas. Penjajahan bukan semata sebuah sistem politik atau ekonomi; penjajahan juga sekaligus sebuah ideologi. Zionisme, yang percaya bahwa negara-negara industri Barat mempunyai hak untuk menjajah dan menduduki bangsa-bangsa terkebelakang di wilayah ini, melihat ini sebagai akibat alami dari sebuah proses "seleksi alam" internasional. Dengan kata lain, Zionisme adalah sebuah produk Darwinisme Sosial. Dalam kerangka ideologi ini, Inggris menjajah India, Afrika Selatan, dan Mesir. Prancis menjajah Indocina, Afrika Utara, dan Guyana. Karena terinspirasi oleh contoh-contoh ini, para Zionis memutuskan untuk menjajah Palestina bagi orang-orang Yahudi.
Kolonialisme Zionis menjadi jauh lebih buruk dibanding "rekan-rekannya" Inggris dan Prancis, karena paling tidak mereka (Inggris dan Prancis) mengizinkan daerah pendudukan mereka untuk hidup (setelah menyerah) dan bahkan memberi sumbangan kepada negara pendudukan dengan pendidikan, pemerintahan yang adil, dan prasarana. Namun, seperti yang akan kita lihat nanti, para Zionis tidak mengakui hak-hak orang Palestina untuk hidup; mereka melakukan pembersihan etnis, dan tidak memberi apa pun kepada orang-orang yang mereka jajah. Anda mungkin bahkan berkata mereka tidak memberi satu batu bata pun bagi orang-orang Palestina.
Pertentangan Zionisme dengan Yahudi
Sifat lainnya dari Zionisme adalah kepercayaannya kepada tema-tema propaganda palsu, mungkin yang paling penting adalah semboyan "sebuah tanah tanpa manusia untuk seorang manusia tanpa tanah." Dengan kata lain, Palestina, "tanah tanpa manusia" harus diberikan kepada orang-orang Yahudi, "manusia tanpa tanah." Dalam 20 tahun pertama abad kedua puluh, Organisasi Zionis Dunia menggunakan semboyan ini dengan sepenuh hati untuk meyakinkan pemerintahan Eropa, khususnya Inggris dan rakyatnya bahwa Palestina harus diserahkan kepada orang-orang Yahudi. Pada tahun 1917, akibat kampanye persuasifnya, Inggris mengumumkan Deklarasi Balfour bahwa "Pemerintahan Yang Mulia memandang pentingnya pendirian di Palestina sebuah tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi… di Palestina."
Kenyataan menunjukkan, semboyan "tanah tanpa manusia untuk manusia tanpa tanah" ini tidaklah benar. Ketika gerakan Zionis dimulai, orang-orang Yahudi tidaklah "tanpa tanah" dan Palestina pun bukannya tanpa manusia…
Orang-orang Yahudi tidaklah tanpa tanah karena sebagian besar mereka hidup di berbagai negara dengan damai dan aman. Khususnya di negara-negara industri Barat, persekutuan ibadat Yahudi tidak punya keluhan apa pun tentang kehidupan mereka. Bagi sebagian besar mereka, gagasan meninggalkan negara mereka untuk pindah ke Palestina tidak pernah terlintas dalam benak mereka. Kenyataan ini akan muncul belakangan ketika ajakan Zionis untuk “Pindah ke Palestina” secara luas diabaikan. Dalam tahun-tahun berikutnya, orang-orang Yahudi anti-Zionis yang kita bicarakan ini secara aktif menolak gerakan Zionis melalui ikatan-ikatan yang mereka dirikan sendiri.
Menerima dukungan resmi dengan Deklarasi Balfour, para Zionis merasakan dirinya berada dalam keadaan yang sulit ketika banyak saudara-saudara Yahudinya menolak pindah. Dalam hal ini, pernyataan Chaim Weizman sangat menohok:
Deklarasi Balfour pada 1917 diputuskan di awang-awang… setiap hari dan setiap jam dalam 10 tahun terakhir ini, ketika membuka surat kabar, saya berpikir: kapan hembusan angin surga lainnya datang? Saya terguncang karena takut Pemerintah Inggris akan memanggil saya dan bertanya: “Beritahu kami, apakah Organisasi Zionis ini? Di manakah mereka, para Zionismu?”... Orang-orang Yahudi, mereka tahu, menentang kami; kami berdiri sendiri di sebuah pulau kecil, sebuah kelompok Yahudi yang amat kecil dengan masa lalu yang asing.19
Oleh karena itu para Zionis mulai terlibat dalam “kegiatan-kegiatan khusus” untuk “mendorong” pindahnya orang Yahudi ke Palestina, bahkan memaksa jika diperlukan, seperti mengganggu orang-orang Yahudi di negara-negara asalnya dan bekerja sama dengan para anti-Semit untuk meyakinkan bahwa pemerintah akan mengusir orang-orang Yahudi. (Lihat Harun Yahya, Soykirim Vahseti (The Holocaust Violence,), Vural Yayincilik, Istambul, 2002). Dengan demikian, Zionisme mengembangkannya sebagai gerakan yang mengganggu dan menteror rakyatnya sendiri.
Sekitar 100.000 orang Yahudi pindah ke Palestina antara tahun 1920-1929.20 Jika kita merenungkan bahwa ada 750.000 orang Palestina pada saat itu, maka 100.000 pasti bukanlah jumlah yang kecil. Organisasi Zionis memegang kendali penuh atas perpindahan ini. Orang-orang Yahudi yang menginjakkan kaki di Palestina ditemui oleh kelompok Zionis, yang menentukan di mana mereka akan tinggal dan pekerjaan apa yang akan mereka lakukan. Perpindahan ini didorong oleh pemimpin-pemimpin Zionis dengan berbagai imbalan. Akibat upaya yang giat di seluruh Palestina, Eropa, dan Rusia, penduduk Yahudi di Palestina mencatat pertumbuhan yang pesat dalam hal jumlah dan tempat tinggalnya. Bersamaan dengan adanya peningkatan kekuasaan Partai Nazi, orang-orang Yahudi di Jerman menghadapi tekanan yang semakin meningkat, suatu perkembangan yang semakin mendorong perpindahan mereka ke Palestina. Kenyataan Zionis mendukung penindasan Yahudi ini adalah sebuah fakta, dan masih menjadi salah satu rahasia sejarah yang paling terpendam. (Lihat Harun Yahya, Soykirim Vahseti (The Holocaust Violence), Vural Yayincilik, Istanbul, 2002)


Fiqih Jihad

dakwatuna.com – Buku yang diberi judul “Fiqih of Jihad” ini ditulis oleh seorang mujahid dan ulama Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi, berjumlah lebih dari 1400 halaman dan diterbitkan oleh Wahba Bookshop, Cairo. Banyak para pembaca yang gelisah menunggu penerbitan buku ini dalam jangka waktu yang sangat lama. Namun demikian, Syeikh mempertimbangkan dan menundanya sampai buku ini sepenuhnya selesai ditulis, lalu, setelah merasa puas dengan isinya, beliau merilisnya sebagai sebuah cahaya petunjuk yang mengusir awan kegelapan menaungi ummat yang kebingungan ini.

Mengapa Yusuf Al-Qardhawi? Dan Mengapa Jihad?
Belakangan ini, banyak ulama yang diminta untuk meluaskan ruang lingkup ijtihad mengenai hal-hal yang berkaitan dengan jihad, sejak beberapa topik yang meliputi amal-amal ibadah atau transaksi, khususnya transaksi finansial, telah menerima hasil kontribusi dari ijtihad individu dan kolektif. Sedangkan, jihad belum pernah mendapatkan sebuah kontribusi (usaha) serupa walaupun betapa urgennya hal ini dan betapa butuhnya masyarakat terhadap hal ini di seluruh lapisan usia, khususnya di zaman sekarang di mana banyak negara mengajak negara lainnya untuk berkolaborasi melawan ummat layaknya orang banyak yang duduk mengelilingi piring makanan dan mengajak orang lain untuk memakannya.
Di sisi lain, orang lain merasa takut membuka pintu untuk penelitian dan penulisan pada topik jihad di zaman sekarang agar jangan sampai ijtihad muncul menjadi pembenaran dan lemah, seperti status ummat ini. Mereka takut bahwa ijtihad mungkin bisa berkembang menjadi pengkhidmatan dan pembenaran terhadap kenyataan pahit kita, menganjurkan kaum muslimin untuk mendukung perdamaian di zaman yang hanya mengenal bahasa agresi. Mereka juga takut bahwa ijtihad mungkin menjadi sesuatu yang keras sebagai sebuah reaksi atas tumpahan darah di tangan musuh-musuh kita, pelanggaran atas kewajiban-kewajiban suci, dan penyerobotan atas lokasi-lokasi suci kita. Oleh karena itu, ia akan menjadi ijtihad yang bersifat balas dendam yang tidak menghormati hubungan kekerabatan atau ikatan perjanjian dan tidak menghormati kewajiban-kewajiban atau kesucian, yang memiliki motto perkataan Ibnu Zuhayr, “Barangsiapa yang tidak membahayakan orang akan dirugikan”.
Namun, Allah SWT membuka hati Syeikh yang berpendidikan tinggi dan memudahkan sarana untuknya untuk melakukan beban yang besar ini dan menyelesaikan dengan baik tugas ini sehingga hal tersebut tidak menjadi ijtihad yang bersifat pembenaran atau pun pembalasan. Dengan demikian, buku tersebut datang bersinar ketika syeikh melewati usia 80 tahunnya (lahir tahun 1926). Dalam usianya yang terbaik, orang ini tidak takut dan tidak pula tergoda oleh pedang maupun kekayaan dari penguasa, walaupun demikian faktanya kenyamanan hidup ada dalam genggamannya.
Dia bahkan harus dilengkapi dengan beberapa kenyamanan tersebut sehingga dia bisa menggunakannya untuk memenuhi proyek-proyek yang dia kerjakan dan cita-citakan. Dengan semua alasan ekstra, dia tidak memberikan perhatian kepada berbagai sikap menyalahkan sepanjang jalannya mengenai Tuhan setelah hidup yang panjang dalam ketekunan dan jihad. Walaupun dia menerima banyak gangguan dan marabahaya dari dalam maupun luar negerinya, dia tetap gigih dan tekun, mencari balasan dari Allah SWT, sampai dia memperoleh peringkat tinggi yang merubah hati dan pikiran orang-orang terhadapnya.
Selain itu, tidak ada seorang pun yang dapat meragukan usaha dan jihad yang diusung oleh Syeikh untuk mempertahankan kepentingan agama, dalam ketajamannya pada fundamental (pokok-pokok) agama, dan pertahanannya pada batas-batas agama sepanjang hidupnya. Beliau tidak pernah dipusingkan dalam mencari berbagai kenikmatan dunia, tidak pernah membujuk siapa pun dalam hal keselamatannya di akhirat, dan tidak pernah memberikan perhatian kepada berbagai sikap menyalahkan yang dia terima sepanjang jalannya menuju Tuhan.
Selain itu, tidak ada yang dapat menuduh dia fanatik atau ekstrim karena dia adalah pemimpin dan ahli teori dalam ke-moderat-an di era modern serta muballigh dan penganjur jalan tengah di dalam pikiran dan fiqih nya.
Dan lagi, kita menemukan bakat beliau dalam bidang hukum, pengetahuannya tentang realitas, keterikatannya yang kuat kepada hukum peninggalan zaman dulu, dan kompetensinya untuk berurusan secara benar dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Jadi, dalam cahaya tersebut, kita berharap banyak bahwa banyak orang akan setuju dengan ijtihad dan pemikiran beliau.

Antara Fiqih Zakat dan Fiqih Jihad
Syeikh yang terpelajar menulis bukunya yang berjudul Fiqih Zakat (Fiqh of Zakah), di mana dia memperoleh gelar PhD., pada tahun 1973. Tiga puluh enam tahun kemudian, beliau mempublikasikan bukunya yang berjudul Fiqih Jihad (Fiqh of Jihad), dan dalam mukadimah buku tersebut beliau menyatakan:
Saya merasa berkewajiban untuk melakukan penulisan tentang topik ini setelah Allah membuka dadaku untuk itu. Beberapa kali, sejak saya menyelesaikan buku Fiqh Zakat, terlintas dalam pikiran saya ide untuk menulis sebuah buku serupa mengenai Fiqih Jihad. Dan, beberapa kali punya kawan-kawan terhormat yang meminta saya untuk menulis tentang hal ini di mana masyarakat luas terpecah-belah. Namun, saya meminta maaf kepada mereka, memberikan alasan bahwa saya tidak memiliki semangat untuk melakukan tugas seperti itu.
Meskipun demikian, saya menulis beberapa potongan tentang hal ini di masa lalu, menunggu saat yang tepat untuk menulisnya dengan cara yang reguler, cara yang tidak terputus-putus. Hal ini karena tema jihad adalah salah satu dari berbagai topik mendasar yang harus diarahkan melalui penulisan yang sistematis dalam rangka untuk (memenuhi) kebutuhan kaum muslimin, secara khusus, dan dunia, secara umum, agar memiliki pengetahuan yang benar tentang jihad, jauh dari melewati batas ekstrim dan – sebaliknya – kelalaian.
Meskipun pada dasarnya Fiqih Zakat mengarahkan zakat sebagai salah satu kewajiban yang dikenakan oleh Islam kepada kaum muslimin dan salah satu pilar dasar Islam (rukun Islam), hal ini juga dianggap sebagai jenis jihad; ini adalah jihad dengan harta. Jenis jihad ini, sangat dihormati dan sangat diperlukan, baik pada saat ini maupun saat yang lain.

Pentingnya Jihad dalam Fiqh yang Ditulis Yusuf Al-Qardhawi
Dari baris paling pertama pada mukadimah, Syeikh Yusuf Al-Qardhawi mengilustrasikan pentingnya kewajiban yang telah lepas ini dan bahaya yang dihasilkan untuk ummat saat ini dan yang akan datang. Beliau mengatakan:
Tanpa jihad, garis batas ummat akan dilanggar, darah orang-orang yang ada di dalamnya akan semurah debu, tempat-tempat sucinya akan tidak lebih baik dari pasir di gurun, dan ummat tidak akan bernilai signifikan di mata musuh-musuhnya. Sebagai akibatnya, si pengecut akan mengambil hati untuk menyerang ummat, budak akan tampak di atas dengan arogan, musuh-musuh akan menguasai lahannya, mendominasinya, dan mengontrol orang-orangnya. Ini karena Allah SWT telah menjauhkan rasa takut dari hati para musuh dalam menghadapi ummat.
Jauh di masa lalu, ummat ini akan diberikan kemenangan atas musuhnya dengan jaminan rasa kagum yang ditanamkan Allah SWT ke dalam hati musuh untuk jarak satu bulan perjalanan. Lebih serius dari hal itu – atau katakanlah, salah satu alasan dibalik itu – adalah kenyataan bahwa ummat telah mengabaikan jihad, atau mungkin bahkan menghapuskannya dari agenda. Ummat telah menghapusnya dalam berbagai aspek-aspeknya: fisik, spiritual, intelektual, dan kultural.
Ke-moderat-an Syeikh Al-Qardhawi dan Fiqh Jihad
Syeikh Al-Qardhawi berbicara tentang sikap orang-orang tentang jihad, membaginya ke dalam tiga kategori. Mengenai kategori pertama, beliau mengatakan,
Ini adalah sebuah kategori yang berusaha untuk memberikan selubung kelalaian terhadap jihad dan menjauhkan jihad dari kehidupan ummat. Mereka, malahan, menganggapnya sebagai kepedulian dan peran utama mereka meningkatkan nilai-nilai spiritual dan amal-amal kebajikan ummat – sebagaimana klaim mereka –, dan mempertimbangkan hal ini sebagai jihad yang utama: perjuangan terus-menerus melawan setan dan hawa nafsu seseorang.
Mengenai kategori kedua, beliau mengatakan,
Sebagai lawan dari kategori di atas, di sana ada yang lain lagi yang mempersepsikan jihad sebagai sebuah “perjuangan melawan seluruh dunia”. Mereka tidak membedakan antara yang memerangi kaum muslimin, berdiri di jalan dakwah, atau yang mencoba menjauhkan mereka dari agamanya, dan mereka yang melebarkan jembatan perdamaian kepada kaum muslimin dan menawarkan rekonsiliasi serta pemulihan hubungan dengan mereka, tidak menggunakan pedang kepada mereka dan tidak mendukung musuh dalam melawan mereka.
Menurut kategori ini, semua orang kafir adalah sama. Orang-orang yang tergolong kategori ini percaya bahwa ketika kaum muslimin memiliki kemampuan, mereka berkewajiban untuk memerangi orang-orang kafir hanya dengan pertimbangan kekafiran mereka, yang mereka anggap sebagai alasan yang memadai untuk memerangi orang-orang kafir tersebut.
Beliau lalu memilih pendekatan moderat yang direpresentasikan oleh kategori ketiga, beliau mengatakan,
Kategori ketiga adalah “ummat yang moderat” (ummat pertengahan) di mana Allah SWT telah memberi petunjuk kepada pendekatan moderat dan diberikan pengetahuan, kebijaksanaan, dan pemahaman yang dalam mengenai syariah dan realitas. Oleh karenanya, kategori ini tidak tergelincir kepada kelalaian dari kategori pertama yang berusaha untuk membiarkan hak ummat tanpa dipersenjatai dengan kekuatan, Al-Qur’an-nya tidak dijaga dengan pedang, serta rumah dan tempat-tempat sucinya tanpa penjaga untuk melindungi dan mempertahankan mereka.
Demikian juga, kategori ini tidak jatuh pada tindakan berlebihan dan ekstrimisme dari kategori kedua yang berusaha untuk memerangi orang-orang yang damai, dan mendeklarasikan perang melawan semua orang tanpa membeda-bedakan; putih atau hitam, di Timur atau di Barat. Tujuan mereka melakukan hal itu adalah untuk mengarahkan orang-orang ke (jalan) Allah SWT, mengantarkan mereka yang terbelenggu ke Surga dan membawa mereka secara paksa dengan tangan ke jalan yang lurus.
Mereka (kategori kedua itu) lebih lanjut menambahkan bahwa tujuan mereka adalah untuk menghilangkan hambatan-hambatan di depan orang-orang itu yang dibentuk oleh rezim yang zhalim yang tidak memungkinkan mereka untuk menyampaikan firman Allah dan seruan Rasul-Nya kepada masyarakat, sehingga mereka dapat mendengar dengan keras dan jelas dan bebas dari segala noda.
Kepada Siapa Buku Ini Ditujukan?
Iman Al-Qardhawi me-list beberapa kategori orang-orang yang membutuhkan buku ini dalam rangka untuk memperoleh sebuah pemahaman yang akurat terhadap tema jihad dengan jalan yang bebas dari kelalaian dan berlebihan. Seakan-akan kategori-kategori ini memadukan berbagai kategori dari seluruh masyarakat, muslim dan non-muslim, pemerintah dan yang diperintah, orang-orang sipil dan militer, dan para pemikir serta intelektual. Beliau memaparkan 10 kategori yang saya pikir mencakup kategori dari seluruh lapisan masyarakat.
1. Ulama Syariah. Kategori pertama yang membutuhkan studi semacam ini adalah para ulama bidang Syariah dan para imam fiqih, sebagaimana kebanyakan dari mereka menyuguhkan konsep-konsep yang sudah baku dan warisan budaya tentang jihad. Mereka, sebagai contoh, mempertahankan bahwa jihad adalah kewajiban kolektif dari ummat dan bahwa kewajiban ini mengharuskan kita untuk menyerbu negara-negara non-muslim sedikitnya setahun sekali, bahkan jika mereka tidak menunjukkan sikap permusuhan terhadap kita, hingga kini, daripada, mereka membentangkan tangan perdamaian dan rekonsiliasi. Meskipun pendapat ini menentang banyak ayat-ayat Al-Qur’an, efek dari ayat-ayat demikian – sebagaimana yang telah kami indikasikan di atas – ditiadakan dalam pandangan mereka atas dasar bahwa ayat-ayat tersebut telah dimansukh!
2. Mahasiswa-mahasiswa bidang ilmu hukum: Demikian juga, studi ini dibutuhkan oleh para ahli undang-undang dan para spesialis dalam hukum internasional, banyak dari mereka telah membentuk pandangan mereka sendiri tentang Islam dan Syariah, khususnya tentang jihad, perang, dan perdamaian. Mereka telah memperoleh pandangan-pandangan tersebut dari kutipan terkenal tertentu dari beberapa buku maupun dari informasi yang disebarkan oleh beberapa penulis dan yang disampaikan dari mulut ke mulut. Orang-orang tersebut sampai batas tertentu tidak bisa disalahkan, karena para ulama Syariah sendiri bingung dalam hal ini. Maka apa yang akan terjadi dengan orang biasa?
3. Para Islamis: Lebih dari yang lain, studi tentang hal ini dibutuhkan oleh para Islamis. Oleh para “Islamis” di sini maksudnya adalah beberapa kelompok Islam yang bekerja dalam mendukung hal-hal Islami, dan yang disebut oleh beberapa pihak sebagai “kelompok politik Islam”. Kelompok-kelompok itu biasanya termasuk pemuda kebangkitan Islam di bawah bendera mereka masing-masing di berbagai negara, baik di dalam maupun di luar dunia Islam. Oleh karena itu, kelompok seperti ini, dengan perbedaan kecenderungan dan sikap mereka, apakah moderat atau ekstremis, benar-benar membutuhkan studi tentang hal ini, khususnya mereka yang dikenal dengan “kelompok kekerasan”.
4. Para sejarawan: Para sejarawan juga membutuhkan studi ini, khususnya mereka yang tertarik dengan biografi Nabi dan sejarah Islam, dan mereka yang mengintepretasikan berbagai peperangan yang dilakukan oleh Nabi SAW dengan cara yang tidak benar dan tidak adil, dengan memandang bahwa Rasulullah-lah yang memulai serangan dan perlawanan kepada para musyrikin. Mereka memberi contoh seperti perang Badar, penaklukan Mekah, dan perang Hunain. Mereka juga menyebutkan bahwa Nabi SAW memulai invasi melawan Yahudi di tempat dan di benteng mereka, menyebutkan perang Bani Qainuqa dan Bani An-Nadir, dan juga perang Tabuk di mana beliau memulai perang melawan Romawi.
5. Para intelektual: Studi ini juga diperlukan untuk orang-orang yang memiliki pemikiran, penelitian, dan perenungan, khususnya mereka yang tertarik dengan pemikiran Islami dan gerakan-gerakan Islam, baik moderat maupun ekstremis, yang timbul darinya, dan juga aksi-aksi kekerasan – atau terorisme sebagaimana yang telah dijelaskan – di mana sebagian dari kelompok-kelompok ini terlibat di dalamnya. Hal ini, sebagai hasilnya, menggiring beberapa orang untuk melontarkan tuduhan kekerasan dan terorisme kepada Islam, sebagaimana semua aksi kekerasan dan semua bentuk terorisme adalah Islam. Tentu saja, hal ini salah dan tidak benar.
6. Para orientalis: Non-muslim, seperti misalnya para orientalis dan mereka yang tertarik dengan studi Islam, juga membutuhkan studi semacam ini. Hal ini berlaku untuk mereka yang tertarik karena ingin mencari pengetahuan dan menemukan kebenaran, atau mereka yang tertarik dengan motivasi politik di mana dilakukan untuk melayani permintaan dari negara-negara tertentu, atau Barat secara umum. Hal ini juga berlaku untuk mereka yang memiliki motivasi keagamaan dalam rangka melayani gereja dan gagasan “Kristenisasi”.
7. Orang-orang yang terlibat dalam dialog: Studi ini sangat penting untuk mereka yang tertarik dalam dialog antar kepercayaan (antar agama), atau dialog antar budaya dan antar peradaban. Dari sudut pandang saya, studi ini merupakan sebuah batu bata yang signifikan dari dialog semacam itu, yang mana kuat di suatu waktu dan lemah di waktu yang lain; maju dan terbentur dari waktu ke waktu. Alasan untuk hal ini terletak pada pikiran yang picik dari beberapa pihak kepada pihak yang lain, kefanatikan yang mendominasi pikiran, dan pilihan cenderung kepada pemikiran turunan (warisan) daripada pemikiran yang tanpa paksaan. Tidak diragukan lagi, orang-orang tidak bisa berdialog jika mereka tidak memiliki pengetahuan tentang satu sama lain.
8. Para politisi: Selain itu, para politisi dan para pengambil-keputusan di seluruh dunia juga membutuhkan studi ini. Mereka membuat keputusan yang amat penting yang berdampak krusial pada nasib bangsa, kehidupan manusia, potensi bangsa, dan kesucian agama. Serangan mereka terhadap agama didasari pada konsep mental mereka terhadap agama tersebut. Mereka, pada kenyataannya, tidak mengetahui tentang hal ini, belum pernah membaca kitab-kitabnya atau kenal dengan biografi nabi SAW; mereka belum pernah mempelajari sejarah agama ini atau bahkan memperoleh informasi yang signifikan tentang iman dan syariat agama ini.
9. Militer: Sebagaimana para politisi membutuhkan studi ini untuk membentuk pendapat yang benar tentang jihad, begitu juga militer, baik itu dia muslim atau non-muslim. Mereka yang salah paham tentang realitas jihad di antara para pemimpin militer Barat, seperti misalnya para politisi Amerika, kebanyakan Jenderal di Eropa; juga – sayangnya – di seluruh dunia, harus membaca buku ini. Pada sisi kami, kami harus menerjemahkan buku ini untuk mereka sehingga mereka dapat membaca dan memahaminya dalam bahasa mereka sendiri. Tidak diragukan lagi, kebanyakan mereka, ketika nada logika disajikan secara jelas kepada mereka, tunduk padanya, dan tidak akan berdebat. Bahkan jika mereka perdebatkan di publik, mereka akan dikalahkan secara internal, dan ini adalah keuntungan yang besar.
10. Intelektual publik: Akhirnya, studi ini juga diperlukan oleh pembaca umum dan biasa, para intelektual yang belum diklasifikasikan di atas, muslim dan non-muslim. Orang-orang seperti ini merepresentasikan massa yang besar di berbagai negara. Mereka perlu mengetahui realitas pandangan dunia Islam dan realitas jihad di jalan Allah.

Pendekatan Al-Qardhawi dalam Memperkenalkan Fiqih Jihad
Kedudukan beliau, ulama, Al-Qardhawi, berbicara tentang pendekatannya dalam bukunya yang – sangat diharapkan – nyaman dan bermanfaat, mengatakan bahwa hal itu terletak pada enam pilar: yaitu, Al-Qur’anul karim, Sunnah yang suci, dan kekayaan Fiqih Islam. Selain itu, beliau mengatakan bahwa pendekatannya juga dibangun untuk membuat perbandingan antara undang-undang Ilahiyah dan sistem (hukum) positif, dengan memperhatikan realitas kontemporer di mana manusia hidup. Oleh karena itu, beliau juga mengadopsi pendekatan yang moderat sebagaimana yang selalu dia lakukan di setiap bukunya, penelitiannya, dan fatwanya. Dalam hal ini, Syeikh mengatakan,
Pendekatan yang saya adopsi dalam menulis buku ini tergantung pada sekelompok elemen:
Pertama, terutama bergantung pada teks-teks dari Al-Qur’anul karim, karena ini merupakan sumber yang pertama dan terpenting dalam Islam, di mana ini adalah kepastian dan tidak dapat dibantah. Hal ini telah dibuktikan secara pasti untuk menjadi (sumber yang) otentik/asli melalui sebuah mata rantai yang handal (tidak diragukan) dan tanpa ada gangguan, dihafal dalam hati, dilantunkan dengan ruh, dan ditulis dalam mushaf (salinan Al-Qur’an). Di sana tidak ada pertentangan tentang hal ini di kalangan para ulama.
Dari Al-Qur’an, kita bisa mendapatkan asli atau tidaknya (otentikasi/keaslian) sumber-sumber lain, termasuk sunnah Nabi itu sendiri. Oleh karena itu, keaslian dari Sunnah didirikan berlandaskan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu, kita memahami Al-Qur’an dalam terangnya gaya ekspresi, dengan bahasa literal dan metaforanya, mempertimbangkan urutan dan konteks, menghindari (penafsiran) yang dibuat-buat dan sembarangan, dan menyesuaikan teks-teks, yakin bahwa ayat-ayat dalam kitab yang mulia ini saling menegaskan kebenaran antar satu sama lain, dan saling menjelaskan satu sama lain.
Kedua, gambaran pada narasi-narasi Sunnah yang terjamin yang benar-benar asli disampaikan dari Nabi SAW. Hal ini termasuk apa-apa yang beliau katakan, perbuatannya, dan persetujuannya yang telah disampaikan dalam hadits-hadits dengan mata rantai narasi yang dapat dipercaya (shahih), tanpa ada missing link, keganjilan, dan faktor-faktor yang mengacaukan.
Selain itu, hadits-hadits tersebut tidak boleh kontradiksi dengan yang lebih kuat dan lebih otentik: ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits lain, atau apa-apa yang telah didirikan atas dasar pengetahuan dan alasan. Jadi, mereka harus ilustratif terhadap apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an, dan harus berjalan sesuai dengan Kitab dan neraca (keadilan) yang diturunkan oleh Yang Maha Kuasa.
Ketiga, penggunaan dari perbendaharaan fiqih Islam dan gambaran pada sumber daya nya yang melimpah, dengan tanpa bias dalam mendukung fiqih mazhab tertentu melawan mazhab yang lain, atau secara eksklusif berpegang teguh pada satu imam seraya mengabaikan imam yang lainnya. Sebaliknya, kita harus mempertimbangkan warisan yang besar ini untuk dimiliki oleh semua peneliti, sehingga mereka dapat menyelidiki hingga ke dalamnya, mengerti rahasia-rahasianya, dan memanfaatkan berbagai simpanan yang tersembunyi di dalamnya.
Ketika melakukan hal tersebut, seorang peneliti harus membandingkan berbagai sudut pandang yang berbeda, tanpa mengambil posisi fanatik dalam mendukung pendapat tertentu, atau secara permanen mengikuti mazhab tertentu. Kita dapat mengambil pendapat Abu Hanifah dalam kasus tertentu, pendapat Malik pada kasus lainnya, dan Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Dawud dalam kasus lainnya, dan seterusnya. Bahkan kita boleh – dalam beberapa hal – merujuk pada mazhab non-Sunni, seperti Zaydi, Ja’fari, atau mazhab Ibadi, jika mereka memberikan solusi yang dibutuhkan. Selain itu, kita boleh mengambil pendekatan mazhab yang sudah usang, seperti Al Awza’i, Ath-Thawri, atau At-Tabari.
Keempat, tidak cukup bagi kita dengan hanya membandingkan mazhab-mazhab dan pendapat-pendapat dalam fiqih Islam serta institusi-institusinya. Sebaliknya, kita juga boleh membandingkan fiqih dari Syariat Islam secara keseluruhan dengan hukum positif Barat. Tujuan dari perbandingan ini adalah untuk mengilustrasikan tingkat keaslian dari Syariat, ketegasan prinsip-prinsipnya, ketidakterikatannya terhadap hukum-hukum lain, dan perpaduan Syariat antara idealisme dan realisme, serta antara hukum Ilahi dan manusia.
Kelima, menghubungkan fiqih kepada realitas kontemporer Ummat dan seluruh dunia. Hal ini karena fiqih dibuat untuk memecahkan berbagai masalah dari individu muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim, negara muslim, dan ummat muslim melalui perundang-undangan yang toleran dari Syariah.
Dengan demikian, fiqih ini mencari penyembuhan-penyembuhan atau pengobatan-pengobatan terhadap berbagai penyakit muslim (dengan menggali sumber) dari dalam – bukan dari luar – khazanah Syariah yang mulia ini. Hal ini juga menjawab setiap pertanyaan yang diangkat oleh individu atau masyarakat tentang agama dan kehidupan. Fiqih juga menuntun perjalanan peradaban Ummat dalam cahaya hukum syariah yang mulia.
Keenam, seperti halnya pada semua buku-buku dan penelitian-penelitian kami, dalam buku ini kami mengambil pendekatan yang Allah SWT hidayahkan kepada kami untuk memilih dan mendahulukan dakwah, tarbiyah, iftaa’, penelitian, reformasi dan renovasi, yaitu pendekatan moderat dan kelembutan.
Di antara aspek-aspek pendekatan fiqih ini, pemahaman dan ijtihad, adalah bahwa kita harus memperbaharui agama dari dalam dan melakukan ijtihad yang cocok dengan kehidupan dan perkembangan zaman kita sebagaimana imam-imam terdahulu kita melakukan ijtihad yang cocok dengan kehidupan dan zamannya. Kita harus menggunakan sumber-sumber pengetahuan dari apa-apa yang mana pandang-pandangan mereka berasal darinya, memahami sebagian teks dalam kerangka tujuan secara keseluruhan, dan merunut masalah-masalah ambigu kembali kepada masalah-masalah yang sudah jelas, serta merunut dari hal yang khusus ke umum.
Selain itu, kita harus ketat ketika hal ini mengarah pada hal-hal mendasar, dan membuat sesuatu lebih mudah ketika hal ini mengarah pada masalah-masalah sekunder, memadukan antara ketetapan Syariat dan variabel-variabel (faktor-faktor) zaman, dan menghubungkan teks asli dengan kenyataan yang masuk akal. Hal ini juga mengharuskan kita untuk menghindari sikap memihak terhadap sebuah pendapat lama atau meninggi-ninggikan pemikiran baru; untuk mematuhi prinsip bahwa tujuan-tujuan itu tidak berubah, namun metode-metode bisa fleksibel; dan untuk mendapatkan manfaat dari apa saja yang bermanfaat dari pandangan-pandangan lama sebagaimana kita juga menyambut setiap pemikiran baru yang berguna.
Sebagai tambahan, kita harus mencari inspirasi dari masa lalu, hidup pada saat ini, dan melihat ke masa depan, menggali hikmah yang muncul dalam setiap bahtera, dan mengukur berbagai prestasi dari pihak lain terhadap nilai-nilai yang kita miliki, dan dengan demikian, menerima apa-apa yang cocok untuk kita dan mengabaikan yang tidak bermanfaat untuk kita, dan seterusnya.
Kemasyhuran beliau, ulama besar, Syeikh Al-Qardhawi telah membagi buku “Fiqih of Jihad” ke dalam sebuah pendahuluan, sembilan BAB, dan sebuah kesimpulan. Jadi, Insya Allah, kita akan mendapatkan tambahan resensi terhadap masalah-masalah lain yang diangkat oleh Imam dalam setiap bagian pada studinya ini. Kita memohon kepada Allah SWT untuk hidayah dan pertolongan-Nya. (iol/hdn)