ULIL ALBAB

"Dakwah akan terus berjalan dengan ada maupun adanya kita,bila tidak bersama kita dakwah akan bersama yang lain, jika engkau tidak bersama dakwah engkau bersama siapa?"

Selasa, 21 September 2010

Terminologi Syura

SYURA adalah terminologi Islam murni. Kata ini adalah kata benda jadian yang diambil dari kata musyawarah yang berarti --dalam terminologi Arab-- mengeluarkan pendapat, yaitu perbuatan aktif yang tidak berhenti pada batas-batas "sukarela" berpendapat, melainkan meningkat dari sukarela menjadi upaya perbuatan mengemukakan pendapat sebaik-baiknya dan secara sengaja menarik keluar pendapat itu. Jika dikatakan: asyara Fulan 'ala Fulan bi ar-ra’y artinya --dalam istilah Bahasa Arab-- Fulan memerintahkan Fulan berpendapat, tidak hanya melepaskan tanggungan dengan sekedar melontarkan pendapat saja.

Syura dalam pemikiran politik Islam adalah filsafat sistem pemerintahan, masyarakat, dan keluarga sebab syura berarti menangani urusan komunitas manusia, khusus dan umum, melalui perhimpunan bersama dan kolektif yang merupakan jalan manusia untuk berpartisipasi dalam menangani urusan komunitas ini. Maka syura, yaitu berhimpun bersama adalah jalan menuju imarah yaitu kepemimpinan, sistem, kekuasaan dan otoritas: kepemimpinan manusia dalam keluarga, masyarakat, dan dalam negara. Yaitu dalam pengorganisasian masyarakat dan pemerintahannya, baik masyarakat kecil maupun besar.

Karena konsep filosofis Islam tentang keberadaan manusia, tugas-tugasnya dan kedudukannya dalam kehidupan ini, dan hubungannya dengan orang lain berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia ini adalah makhluk Allah dan mendapat tugas kekhalifahan dari Allah, bukan sebagai penguasa planet ini sehingga kebebasannya bersifat mutlak tanpa batas atau syura, permufakatan, kekuasaan, dan kepemimpinannya tanpa kendali dan aturan. Pada saat yang sama, kekhalifahannya dari Allah berarti dengan sendirinya ia mempunyai kewenangan, kehendak, kebebasan syura, dan kepemimpinan yang memungkinkannya bangkit mengemban tugas pembangunan peradaban di muka bumi ini. Oleh sebab itu, manusia bukanlah makhluk fatalis yang nasibnya telah ditentukan secara mutlak.

Manusia berada pada posisi moderat: ia bukan penguasa alam dan bukan pula hamba yang tidak memiliki kebebasan, kehendak, otonomi dan tanggung jawab, melainkan ia adalah khalifah dari penguasa alam dan pada kerangka ikatan akad sumpah janji istikhlaf ia mempunyai wewenang yang memungkinkannya bangun mengemban tugas-tugas istikhlaf.

Berpijak dari pandangan tentang kedudukan manusia di bumi ini, Islam mempunyai ciri khas yang terletak pada kerangka syura. Ikatan janji istikhlaf ilahi yang merupakan ketentuan Allah yang berlaku dalam alam ciptaan-Nya, begitu pula hukum-hukum-Nya yang dijadikan sebagai kerangka pengendali kebebasan manusia dan otoritasnya adalah ketentuan ilahi yang muncul di dalamnya 'ubudiah makhluk kepada Sang Khaliq, dan ketentuan Allah yang tidak ada di dalamnya syura maupun pilihan:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukmin, apabila Allah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata." (al-Ahzab: 36)

Di sini, dalam semua hal yang berkaitan dengan kerangka kekuasaan, kita berada di hadapan kekuasaan Allah dan kedaulatan-Nya yang tercermin pada ketentuan yang bersifat niscaya, dan syari'at-Nya yang mewakili ikatan akad dan janji istikhlaf, sehingga khalifah harus menjadikannya sebagai kerangka pengendali yang mengatur kebebasan, syura, kewenangan dan kepemimpinannya, begitu pula menjadi pengendali yang mengatur gerakannya pada saat melaksanakan tugas istikhlaf.
Sedangkan diluar itu, semua urusan yang berada dalam kadar kesanggupan manusia, dan menjadi satu keharusan untuk melaksanakan dan menerapkan serta merinci keumuman akad dan janji serta amanat istikhlaf, maka itu merupakan obyek syura manusia, obyek bagi kewenangan dan kekuasaannya. Sebab dalam hal ini ia bebas dan menjadi sumber bagi kewenangan dan kekuasaan yang pilar-pilarnya diambil dari syura dalam kerangka halal dan haram: dia adalah wakil yang bebas yang menangani urusan-urusan perwakilan dengan syura dengan syarat tidak melewati kerangka akad perwakilan. Inilah kerangka syura dalam pemikiran politik dan filsafat Islam tentang masyarakat manusia.

Ketetapan Allah dan perintah-Nya adalah kekuasaan dan kedaulatan ilahiah. Sedangkan ketetapan manusia dan perintah mereka adalah syura di antara mereka yang menjadi landasan kepemimpinan dan kewenangan mereka dalam berbagai urusan komunitas: dari keluarga ke institusi ke masyarakat ke negara ke komunitas manusia dan sistem internasionalnya.Dalam masyarakat keluarga, Islam berpijak pada syura sebagai satu filsafat untuk menumbuhkan rasa saling ikhlas yang berdasarkan pada cinta kasih, peraturan dan keteraturan:
"Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anak-anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan." (al-Baqarah: 233)

Dalam urusan negara, Islam mewajibkan syura sebagai filsafat yang dianut sesuai dengan persoalan-persoalan manusia:
"Maka dengan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun untuk mereka, dan musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (Ali Imran: 159)

Membulatkan tekad yaitu mengambil keputusan adalah suatu hasil dari syura. Yaitu keikutsertaan manusia dalam penggodokan pendapat yang berlandaskan pada kebulatan tekad dan inilah yang membuat para mufassir al-Qur'an mengemukakan penafsiran mengenai ayat ini, yang diwakili oleh salah seorang di antara mereka, yaitu Ibnu Athiah (1088-1148 M): "Sesungguhnya syura termasuk salah satu prinsip syari'ah dan pilar hukum. Barang siapa yang tidak mengajak musyawarah kepada ahli ilmu dan ahli agama, maka memecat (kepemimpinan) orang tersebut hukumnya wajib dan yang demikian itu merupakan satu hal yang tidak ada perselisihan di dalamnya.

Syura adalah salah satu prinsip syari'ah dan pilar hukum. Sedangkan ahli syura adalah mereka yang mempunyai keahlian dalam bidangnya sesuai dengan persoalan dan permasalahan yang menuntut keahlian. Oleh sebab itu, ungkapan Ibnu Athiah tersebut berbicara tentang ajakan musyawarah kepada ahli ilmu dan ahli agama, tidak hanya ahli agama saja.

Jika musyawarah adalah mengeluarkan pendapat yang berasaskan pada ketetapan dan kebulatan tekad, maka Islam telah menjadikan 'ishmah (keterhindaran dari kesalahan) bagi umat Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: "Sesungguhnya umatku tidak bersepakat pada kesesatan" (Ibnu Majah). Yang demikian adalah agar hati orang-orang mukmin tenang pada hikmah dan kebenaran keputusan apabila berlandaskan pada hasil musyawarah umat dalam masalah yang dihadapi. Dari sini syura adalah satu sifat orang mukmin.

"Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal. Dan bagi orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila diperlakukan dengan sewenang-wenang mereka membela diri." (asySyuuraa: 36-39)

Bahkan asas syura adalah salah satu sifat yang dimiliki oleh rasul umat ini. Sebagaimana telah dituturkan oleh Abu Hurairah ra tentang sifat Rasulullah saw:
"Tidak aku lihat seseorang yang lebih banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya dari pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam." (Tirmidzi)
Para sahabat di negara Islam pertama yang dipimpin oleh Nabi dan Rasul saw senantiasa bertanya tentang sifat dasar keputusan: apakah ia wahyu, yang merupakan ketetapan dan keputusan Allah, ataukah ia pendapat dan hasil musyawarah, yang berarti persoalannya mengandung musyawarah dari tinjauan yang menjadi acuan kebulatan tekad dan ketetapan? Seolah mereka bertanya tentang sifat dasar pembagian wilayah persoalan, apakah ia wewenang ilahiah, ataukah wewenang manusia? Bilamana Rasulullah saw memberitahukan kepada mereka bahwa itu adalah wahyu, maka mereka lalu menerimanya sebagai pegangan dengan sam'an wa tha'atan (mematuhi sepenuhnya) kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun apabila itu adalah

masalah persoalan pendapat dan musyawarah maka komitmen padanya berdasarkan pada hasil musyawarah, bukan bagi mereka saja melainkan juga bagi Rasulullah saw. Karena dalam hal ini beliau adalah "mujtahid" bukan muballigh (penyampai). Dari sudut pandang Islam ini dapat dipahami makna sabda Rasulullah saw kepada Abu Bakar dan Umar:
"Seandainya kamu berdua sepakat dalam satu musyawarah maka aku tidak akan menentang kamu berdua." (Imam Ahmad)

Dalam sabdanya yang lain:
"Seandainya aku mengangkat seseorang menjadi amir tanpa musyawarah dengan orang-orang mukmin niscaya aku angkat Ibnu Ummi 'Abd (Abdullah bin Mas'ud) menjadi amir." (Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad)

Semua masalah dan urusan keduniaan manusia, yang belum ditetapkan oleh ketetapan Allah dengan ketetapan yang qath'i maka masalahnya menjadi persoalan syura di kalangan ahli syura. Masalah utama dalam persoalan ini adalah negara Islam dan kaum Muslimin. Rasul yang ma’shum (bebas dari kesalahan) dalam menyampaikan risalah dari Allah --dalam urusan-urusan negara-- beliau adalah seorang penguasa mujtahid, mengangkat seorang wali (gubernur) tanpa mengajak musyawarah kaum mukminin.
Umar bin Khattab adalah seorang khalifah yang mengatakan:
"Barang siapa yang membai'at amir tanpa mengajak musyawarah dengan kaum Muslimin maka tidak wajib memberi bai'at kepadanya dan tidak sah bai'at orang-orang yang membai'atnya. Sebab khilafah adalah syura."

Pemegang kedudukan Ulil Amri dalam Islam bersifat kolektif. Oleh sebab itu, al-Qur'an berbicara tentang Ulil Amri dengan bentuk kata jamak, sama sekali tidak dengan bentuk kata tunggal (wilayah al-amri). Inilah Syura Islam:
a) Satu filsafat pertemuan Islam dalam keluarga, masyarakat, dan negara.
b) Kerangka dan wilayahnya: mencakup semua bidang yang belum ditetapkan oleh Allah dengan ketetapan yang pasti dan niscaya, bagi manusia, yang diberikan wewenangnya sebagai khalifah dari Allah dalam membangun peradaban di muka bumi ini.
c) Di dalam dan dengan syura umat adalah suatu kekuasaan dan kewenangan dalam politik negara, mengorganisir masyarakat dan membangun peradaban.
d) Umat ini memilih para wakilnya yang berkompeten yang memahami realitas obyektif dan syari'ah. Mereka itulah ahlul hilli wal 'agdi, begitu juga mereka adalah ahlul ikhtiyar (pemilih) yang memilih kepala negara Islam dan memelihara keharmonisan realitas obyektif dengan syari'ah, dengan mengembangkan "hukum fiqih furu'iyyah" untuk memberi jawaban atas perkembangan realitas baru dan mengendalikan realitas baru itu agar tidak keluar dari wilayah halal dan haram yang keduanya adalah wewenang Allah.83)


Perang Terminologi Islam versus Barat Muhammad 'Imarah